Sen Ze & Jayne Eng. The Air Asia Story: Kisah Maskapai Tersukses di Asia. (terjemahan). Penerbit Ufuk. Desember 2007. Tebal 204 halaman.

Air Asia tiba-tiba menarik perhatian para pengguna jasa penebangan di wilayah Asean. Mana ada penerbangan yang begitu murah. Hanya dengan lima ribu rupiah, bisa terbang dari Jakarta atau Surabaya ke seluruh jurusan Asia Air. Bahkan ke Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok dengan tarif di bawah Rp 50 ribu. Belum pernah terjadi sebelumnya.Itulah ciri strategi bersaing Air Asia dengan fokus pada penerbangan murah, atau low cost carrier (LCC). Segmen yang dilayanai terutama mereka yang sensitif terhadap harga, bahkan lapisan masyarakat yang belum pernah menggunakan transportasi udara.

Buku ‘cerita legenda non-fiksi’ ini mengisahkan perjalanan Air Asia menuju suksesnya menjadi maskapai berskala regional. Namun kisah ini juga dapat dibaca sebagai perjuangan seorang Tony Fernandes, sang pemilik dan pemimpin maskapai ini.

Kisah dimulai dari ketika Tony Fernandes, Wakil Presiden Times Warner Music Southeast Asia, memutuskan untuk beralih dari bisnis musik ke bisnis penerbangan. Dunia yang memang pernah diimpikannya. Pilihannya pada konsep penerbangan murah diilhami oleh easyJet, Ryanair di Eropa, lalu pendahulu mereka yaitu Southwest Airlines di AS. Saat proposal konsep penerbangan murah diajukan kepada Perdana Menteri Malaysia, waktu itu Dr. Mahathir Mohamad, beliau mendukung, tetapi syaratnya harus mengakuisisi maskapai yang ada, karena ijin baru telah ditutup. Ini merupakan tantangan awal.

Namun tidak berapa lama Tony dapat kabar bahwa Asia Air yang awalnya milik seorang bangsawan kaya Malaysia sedang menuju kebangkrutan, akan  dijual. Maka, dengan hanya 1 Ringgit Malaysia (Rp 2500) maskapai itu dibeli. Untuk itu dia dapat dua pesawat Boeing 737-300, tapi harus menanggung hutangnya yang hampir Rp 100 milyar.

Konsep penerbangan murahnya ternyata berhasil. Dalam waktu tujuh bulan (Desember 2002) dia sudah memperoleh pemasukan Rp 282,5 milyar, membukukan keuntungan Rp 48,5 milyar, dengan 1,1 juta penumpang.Dengan sukses ini tantangan yang menghadang di depan adalah persaingan dengan Malaysia Air Service (MAS), maskapai milik pemerintah Malaysia, seperti Garuda di Indonesia. Untuk itu Tony memilih untuk membuka rute penerbangan regional, ke Thailand dan Indonesia. Dan ini tantangan yang tidak mudah. Berbagai strategi dan cara dia tempuh hingga akhirnya berhasil. Ini terjadi setelah dia mendirikan perusahaan Air Asia Thailand, yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Thaksin, Perdana Menteri Thailand saat itu.

Untuk masuk ke Indonesia Air Asia ‘beruntung,’ karena saat itu ada Awair yang kebetulan diambang kebangkrutan. Tony membelinya sebagai ‘pintu masuk’ ke Indonesia. Dengan demikian maka tercapailah tujuannya menjadi maskapai penerbangan murah skala regional. Tapi itu belum komplit tentunya sebelum Air Asia bisa masuk Singapura, hub internasional di wilayah ini.

Sebelum masuk ke Singapura, Tony masih harus memantapkan posisinya di Malaysia sendiri. Sebagai maskapai  penerbangan murah (LCC) efisiensi adalah hal pokok. Karena itu Air Asia  perlu punya lapangan terbang sendiri yang biaya operasinya juga murah. Tony berencana membangun bandara Subang yang letaknya tak jauh dari Kuala Lumpur. Tapi keinginan ini langsung ditentang oleh pengelola dan serikat pekerja Kuala Lumpur International Airport (KLIA), karena akan mengancam cita-cita KLIA menjadi pusat (hub) regional, bersaing dengan Changi Airport, Singapura. Setelah melalui perjuangan yang alot dengan Kementerian Perhubungan, akhirnya Air Asia mendapat terminal khusus di KLIA. Walau kurang happy, karena kepadatan jadwal penerbangan membuat banyak waktu pesawat menunggu, yang berarti pemborosan bahan bakar. Tapi apa boleh buat.Persaingan atau kadang konflik dengan MAS tak dapat dihindarkan. Bisa diperkirakan MAS pasti cemburu  dengan kehadiran pesaing. Walaupun Tony berkali-kali menyatakan bahwa pangsa pasarnya berbeda, karena dia fokus pada kelas yang sebelumnya tidak membayangkan dirinya naik pesawat terbang. Maka tatkala MAS juga membuka penerbangan murah, dia teriak. Dia menyatakan itu tidak fair, karena MAS kan mendapat subsidi pemerintah.

Tapi perjuangan yang paling seru adalah bagaimana Air Asia bisa masuk Singapura.  Ini adalah perjuangan panjang yang akhirnya dimenangkannya. Walau faktor eksternal turut mendukung, terutama dengan masuknya saham Temasek, perusahaan holding milik pemerintah Singapura, ke Air Asia Thailand, setelah Thaksin runtuh.

Lalu apa kiat Air Asia sehingga bisa menjual tiket Jakarta-Surabaya dengan harga Rp 5000, dan berbagai tawaran murah yang diiklankan periodik di beberapa surat kabar dan websitenya yang multi bahasa itu? Ternyata itu kiat sederhana saja, yang entah kenapa hanya Air Asia yang melakukan, atau yang pertama. Yaitu, menjual kursi yang menurut statistik rute dan waktunya, memang kemungkinan besar kosong. Jadi kalau tidak dijual murah juga kosong. Lha kenapa tidak dijual murah via internet, sebagai sarana promosi.

Membaca buku ini serasa bukan membaca kisah maskapai penerbangan, tapi kisah Tony Fernandes sendiri. Ada semangat menggebu dan pantang menyerah, keberanian ambil risiko, selalu ingin menjadi yang pertama. Juga kejeliannya dalam beriklan, selain promo harga tiket murah, juga mengasosiasikan Air Asia dengan Manchester United (MU), yang sama-sama menggunakan warna merah, dengan cara menjadi sponsor pusat latihan MU di Trafford, UK.

Kisah ini juga bisa menyadarkan bahwa kita hidup di wilayah Asean yang dinamis, interaksi antar negara tinggi. Dimana persaingan kepentingan antar negara terutama dalam bidang ekonomi cukup tinggi. Saling bersaing menjadi hub internasional terkemuka. Menguasai saham perusahaan yang maju di wilayah ini. Ini bisa diperhatikan dari agresifnya Temasek mengambil alih banyak perusahaan terkemuka. Namun juga kerjasama yang mau tidak mau harus dijalin secara saling menguntungkan. Ini bisa dikaitkan dengan bagaimana bangsa Indonesia marah atas ‘pengakuan’ banyak produk kesenian oleh negeri tetangga, tapi mesti disadari juga bahwa masyarakat kita membutuhkan pekerjaan dari negeri-negeri tetangga tersebut, dengan berbagai persoalannya. Juga soal kiriman asap lantaran kebakaran hutan yang sering terjadi.

Buku ini seolah memang buku cerita yang alurnya lancar, mudah diikuti. Bisa dibaca sebagai rangkaian strategi  bisnis, tapi juga dapat dinikmati sebagai kisah perjuangan yang cukup memancing emosi pembacanya. Walaupun, entah ini positip atau negatip, kisah ini terasa ditulis dari ‘luar’. Kelihatannya tidak ada wawancara atau sumber langsung seperti dari Tony sendiri. Ucapan-ucapan Tony terasa kalau diambil dari media masa.

Mungkin karena judulnya kisah sukses (success story) maka isinya satu arah menuju sukses. Ini bisa juga dianggap kelemahan buku ini. Tidak ada opini lain dari luar maupun dari dalam Air Asia. Sebagian pembaca mungkin ingin tahu opini dari luar misalnya dari eksekutif MAS, otorita bandara KLIA, Singapore Airlines, Bandara Changi. Opini dari dalam misalnya dari karyawan. Padahal opini-opini itu penting agar buku ini tidak menjadi mirip media promosi perusahaan. Namun bagaimanapun banyak pelajaran yang bisa diambil dari buku ini, tentang kepemimpinan, strategi menajemen, maupun sebagai penghuni wilayah Asean.

(Resensi ditulis oleh Risfan Munir, penulis buku “Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif.”)

The Air Asia Story

Leave a comment